Saat ini Pandemi Covid-19 sedang berlangsung. Pemerintah menganjurkan protokol kesehatan tetap di adakan, selagi menunggu vaksinasi pada masyarakat. Sebab, angkat positif Covid-19 terus mengalami kenaikan dan banyaknya juga kematian dari hari ke hari. Pemerintah beberapa kali mengatakan agar masyarakat bisa menerima keadaan seperti ini dan menganggap ini sebuah kenormalan baru.
Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), membuat banyak masyarakat memiliki kebiasaan baru, yaitu: menggunakan sepeda sebagai salah satu transportasi untuk berolahraga baik di pagi hari maupun sore hari. Hal ini mempengaruhi peningkatan penjualan sepeda dari biasanya di tengah pandemi ini. Berdasarkan tinjauan dari Insititue for Transportation and Development Policy (ITDP), telah adanya peningkatan pengguna sepeda sebanyak 1.000% saat PSBB di Jakarta dibanding bulan Oktober 2019. Tidak hanya di Jakarta, hal tersebut terjadi di sejumlah kota lainnya, seperti Yogyakarta, Semarang, Surakarta, Bandung, dan Surabaya.
Pelonjakan pengguna sepeda saat ini, membuat salah seorang influencer yang memiliki 1,9 juta pengikut di Instagram berkomentar pada salah satu konten Direktorat Jenderal Pajak Republik Indonesia, sehubungan dengan kewajiban untuk memasukkan sepeda pada kolom harta pada SPT Tahunan dan meminta pemerintah menjadi lebih giat dalam menemukan pendapatan dari pajak. Komentar tersebut mendapatkan berbagai respon dari para pengikutnya. Hal ini akan menimbulkan pandangan negatif bagi pemerintah yang saat ini sedang ulet dalam mencari dana dari pendapatan pajak dan juga membentuk citra yang baik di masyarakat. Pertanyaannya adalah apakah memiliki sepeda ada pajaknya?
Sepeda merupakan Objek PPN
Benar, sepeda dikenakan pajak yang berupa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) karena merupakan barang kena pajak yang merupakan objek PPN (UU No 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah). Dilihat dari ilmu perpajakan, PPN termasuk dalam tiga kategori, yaitu: pajak objektif, pajak atas konsumsi umum dalam negeri, dan pajak tidak langsung.
Pajak objektif adalah pajak yang dikenakan dengan memperhatikan nilai dari objek pajak. Istilah ini mengacu pada situasi, peristiwa atau tindakan peradilan yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut objek pajak.
PPN sebagai pajak objektif maksudnya kewajiban konsumen membayar pajak yang terdiri atas orang pribadi atau badan, dan tanpa melihat kondisi subjek pajak, tidak peduli konsumen itu memiliki penghasilan atau tidak. Intinya, konsumsi barang atau jasa yang termasuk objek PPN akan diwajibkan membayar PPN tersebut siapapun itu. Selain itu, pajak berkonsumsi umum di dalam negeri, berarti PPN dikenakan atas konsumsi barang dan/atau jasa yang dimanfaatkan di dalam negeri atau di area pabean.
Prinsip destinasi (destination principle) adalah pengenaan PPN atas konsumsi tanpa melihat dari mana barang dan/atau jasa tersebut berasal yang dilakukan di dalam negeri. Dalam prinsip destinasi, barang impor yang dikonsumsi atau jasa yang digunakan didalam negeri juga dikenakan PPN. Jadi, dengan membeli sepeda di sebuah toko baik dalam negeri ataupun luar negeri akan dikenakan PPN sebesar 10%. Tambahannya, jika pembeli melakukan transaksi dari luar negeri (impor), pembeli tersebut juga dikenakan bea masuk selain PPN 10%. Ketentuan bea masuk sepeda atau barang impor lainnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 199/PMK010/2019 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak Atas Impor Barang Kiriman. Ketentuan ini membahas te untuk setiap barang impor yang bernilai US$3 atau lebih dikenakan bea masuk sebesar 7,5% dari harga jual.
Makna PPN dipandang dari sudut ilmu hukum merupakan suatu jenis pajak yang menempatkan kedudukan pemikul beban pajak dengan kedudukan penanggung jawab pembayaran pajak ke kas negara pada pihak yang berbeda-beda. Hal ini bertujuan untuk melindungi pembeli atau penerima jasa dari tindakan sewenang-wenang negara (pemerintah). Faktanya adalah bahwa PPN telah melekat dalam kegiatan konsumtif masyarakat sehari-hari, sehingga akan sangat mengejutkan jika itu menjadi kontroversi baru di masyarakat.
Sepeda Wajib Dilaporkan di SPT Tahunan
Direktorat Jenderal Pajak menghimbau bahwa bagi masyarakat yang memiliki sepeda, baik sebagai alat transportasi, olahraga, atau hobi, silahkan memasukannya ke dalam daftar harta di SPT Tahunan dengan kode harta 041. SPT Tahunan merupakan salah satu kewajiban rutin yang harus dijalankan bagi yang telah ber-NPWP setiap tahunnya. Hal ini dimaksudkan untuk melakukan perhitungan ataupun check and balance perhitungan dan pembayaran pajak penghasilan, objek pajak penghasilan, dan/atau bukan objek pajak penghasilan, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan peraturan pajak untuk satu tahun pajak, atau bagian dari tahun pajak.
Sepeda merupakan barang dikenai pajak berdasarkan UU PPN juga dikenai bea masuk jika melakukan pembelian dari luar negeri (impor). Kewajiban memasukkan sepeda pada kolom harta di SPT Tahunan bukan untuk penambah penghasilan wajib pajak yang nantinya akan mengarah pada penambahan pembayaran pajak, tetapi itu hanyalah sebagai imbauan DJP sesuai dengan pasal 3 UU KUP yang menyebutkan bahwa SPT harus diisi dengan benar,lengkap, dan jelas. Seluruh jenis harta yang dimiliki wajib dilaporkan tanpa batas minimal. Tetapi telah ditegaskan kembali bahwa daftar harta yang dilaporkan pada SPT tidak diberlakukan lagi pajaknya.
Created by Mutiara Zanky
Sumber: https://www.pajak.go.id/id/artikel/awas-hoaks-pajak-sepeda