Penerbitan kebijakan terkait pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), berkaitan dengan penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer telah membuat perdebatan di kalangan masyarakat. Banyak masyarakat yang mengeluhkan bahwa di saat ekonomi sedang krisis karena pandemi, namun pemerintah menerbitkan pengenaan objek pajak baru pada masyarakat. Namun pertanyaannya, apakah hal tersebut benar?
Penerbitan tentang Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/PMK.03/2021 mengenai Penghitungan dan Pemungutan PPN serta PPh atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer pada tanggal 22 Januari 2021 yaitu untuk memberikan kepastian pada hukum, memudahkan administrasi, dan teknis pengenaan PPN dan PPh bagi wajib pajak. Selama ini ada beberapa masalah yang masih mengundang kontroversi yaitu:
- Banyaknya sengketa yang terjadi di lapangan terkait pengenaan PPN dan PPh atas Pulsa, Token Listrik, dan Voucer.
- Adanya masalah penerbitan Faktur Pajak atas transaksi pulsa dengan (server) yang real-time.
- Adanya masalah yang berkaitan dengan pengawasan PPh dan PPN pada distributor pulsa tingkat pengecer.
- Adanya potensi untuk pengenaan PPN berganda atas distribusi voucer konten/aplikasi.
Agar menyamakan persepsi, perlunya pengertian objek pajak yang dikenakan pajak dalam PMK ini. Pulsa adalah hak pada penggunaan produk telekomunikasi yang dihitung dalam satuan perhitungan biaya telepon dan/atau biaya data dengan menggunakan sistem pembayaran pada awal periode pemakaian. Kartu Perdana ialah kartu yang digunakan oleh pelanggan jasa telekomunikasi agar dapat menggunakan jasa telekomunikasi pascabayar atau prabayar. Token adalah hak pada penggunaan tenaga listrik yang dapat berupa digit angka, lalu dimasukkan ke dalam meteran dengan menggunakan sistem pembayaran pada awal periode pemakaian. Voucer ialah media pembayaran atas pembelian barang dan jasa oleh pembeli atau penerima jasa untuk ditukar dengan barang dan jasa yang dapat berbentuk fisik atau elektronik, biasanya digunakan untuk diskon atau belanja.
A. Pengenaan PPN
Pulsa, Kartu Perdana, dan Paket Data dapat dikategorikan pada Barang Kena Pajak (BKP). Atas penyerahan BKP tersebut oleh Pengusaha Penyelenggara Jasa Telekomunikasi (Operator Seluler) dan Penyelenggara Distribusi dikenakan PPN. Saat Operator menyerahkan Pulsa, Kartu Perdana, dan Paket Data kepada Distributor Tingkat Pertama (Autorized Distributor), kemudian Autorized Distributor kepada Distributor Tingkat Kedua (Server), lalu Server menyerahkannya pada Distributor Tingkat Ketiga dan seterusnya hingga penyerahan tersebut sampai ke konsumen akhir yang merupakan penyerahan BKP.
Pemungutan PPN wajib dilakukan hingga Distributor Tingkat Kedua saja. Jadi, untuk Distributor selanjutnya tidak ada kewajiban untuk mengenakan PPN karena pemungutan PPN telah dilakukan di awal oleh Distributor Tingkat Kedua. Perhitungan PPN sampai Distributor Tingkat Kedua sebesar 10% dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yaitu berasal dari Harga Jual. Dari Distributor Tingkat Kedua kepada Distributor Tingkat Ketiga sampai konsumen akhir adalah sebesar Nilai Lain. Untuk Nilai Lain dikenakan karena Distributor Tingkat Kedua juga menghitung PPN untuk rangkaian berikutnya yang tidak mempunyai kewajiban untuk mengenakan PPN.
Akibat tidak mempunyai kewajiban sebagai Pemungut PPN, Distributor Tingkat Ketiga dan seterusnya tidak diperkuat sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), selama usahanya untuk melakukan penyerahan Pulsa, Kartu Perdana, dan Paket Data. Tetapi, ketika mereka menyerahkan BKP atau JKP lainnya, mereka dapat diperkuat sebagai PKP apabila peredaran brutonya dalam satu tahun pajak sudah melewati batasan pengusaha kecil atau dapat dikatakan lebih dari Rp4,8 miliar.
B. Pengenaan PPN atas Token dan Voucer
Token adalah BKP yang PPN-nya disamakan dengan listrik. Listrik merupakan BKP yang strategis sehingga dapat memeroleh fasilitas pembebasan PPN, kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 Watt. Untuk Token diserahkan PLN langsung kepada pelanggannya. Distributor Token hanya berperan sebagai wadah untuk mendistribusikan Token ke konsumen dan menerima pembayaran dari konsumen. PPN terutang atas Token ialah sebesar 10% dari DPP (Penggantian) yaitu selisih dari nilai nominal Token dengan nilai yang diminta, tidak termasuk pajak (pajak daerah atas penerangan jalan dan bea meterai) dari penjualan Token. PPN yang tidak dikenakan atas nilai Token tapi atas biaya administrasi yang dikenakan pihak Distributor Token. Ketika terhutangnya PPN atas jasa Token, berdasarkan Pasal 17 ayat 5 PP nomor 1 tahun 2012 mengenai penyerahan JKP yaitu saat pendapatan administrasi yang tadi diakui oleh distributor Token sebagai Piutang atau Penghasilan atau ketika penerbitan Invoice dilaksanakan oleh pihak Distributor Token.
Maksud voucer dalam kebijakan ini ialah alat tukar untuk pembayaran. Ada beberapa jenis Voucer yang bayak dikenal, seperti : Voucer Diskon, Voucer Belanja/Konten, dan Voucer Program Loyalitas/Penghargaan Pelanggan. Pada saat pihak distributor atau pedagang menyerahkan Voucer bukan merupakan penyerahan yang terutang PPN sebagai BKP namun atas jasa pemasaran/penyelenggaraan Voucer tersebut. PPN akan dikenakan atas penyerahan jasa pemasaran tersebut. DPP Voucer ialah sebesar 10% dari imbalan yang diterima atau selisih antara nilai yang ditagih dan nilai yang dibayar atas penjualan Voucer. Akan tetapi, DPP untuk Voucer Program Loyalitas selain dihitung dari imbalan juga dapat dihitung dari Nilai lain jika penyerahannya tidak berasal dari pemberian komisi dan tidak terdapat selisih (margin).
Nilai Lain adalah sebesar 10% dari jumlah yang ditagih atau yang seharusnya ditagih. Pajak Masukan Penyelenggara Voucer atas Penggantian dapat dicicil sesuai dengan ketentuan UU dalam bidang Perpajakan. Nilai lain tidak dapat dikreditkan karena PPN yang dikenakan sudah memperhitungkan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan. Untuk Pengusaha Penyelenggara Jasa Telekomunikasi, Penyelenggara Distribusi, dan Penyelenggara Voucer yang telah diperkuat sebagai PKP, namun tidak memungkinkan untuk membuat Faktur Pajak yang sesuai dengan ketentuan UU Perpajakan. Maka dari itu, bukti penerimaan pembayaran yang dibuat dapat digunakan sebagai dokumen tertentu yang posisinya sama dengan Faktur Pajak. Penerimaan pembayaran tersebut dapat dikreditkan sebagai PM apabila mencantumkan identitas pihak yang menerima, yaitu berupa nama dan NPWP atau NIK. Hal tersebut akan memberikan ketentuan hukum yang lainnya terkait penerbitan Faktur Pajak dari transaksi yang real-time.
C. Pengenaan PPH
Pada penjualan Pulsa dan Kartu Perdana oleh Penyelenggara Distribusi Tingkat Kedua sebagai Pemungut PPh Pasal 22, harus memungut PPh. Penyerahan ini dilaksanaka pada Penyelenggara distribusi di bawahnya atau konsumen langsung. Penetapan Penyelenggara Distribusi Tingkat Kedua sebagai Pemungut PPh Pasal 22 sesuai dengan ketentuan Pasal 22 UU PPh. Ketika terutangnya PPh Pasal 22 ialah pada saat diterimanya pembayaran, termasuk juga penerimaan deposit. Pemungut PPh wajib menjalankan pemungutan PPh berdasarkan Pasal 22 sebesar 0,5% dari Nilai yang Ditagih atau Harga Jual dari penjualan kepada pelanggan telekomunikasi secara langsung. Untuk pengecualian tidak dipungut berdasarkam PPh Pasal 22, yaitu :
- Batasan pembelian yang dilaksanakan paling banyak sebesar Rp2 juta, tidak termasuk PPN, dan bukan merupakan pembayaran yang dipecah atas suatu transaksi yang pada nilai sebenarnya lebih dari Rp2 juta.
- Wajib Pajak Bank.
- Pengusaha Kecil yang mempunyai Surat Keterangan PP nomor 23 tahun 2018 dan telah dikonfirmasi atas kebenarannya di sistem informasi Ditjen Pajak.
Dari imbalan yang masih sehubungan dengan jasa yang diterima oleh Penyelenggara Distribusi atau Penyelenggara Voucer maka akan dipotong PPh Pasal 23 sebesar 2% dari jumlah bruto, sehingga tidak termasuk PPN. Pada PPh Pasal 23 yang telah dipotong tersebut dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak tahun berjalan. Untuk pengecualian tidak dilaksanakan pemotongan PPh Pasal 23, apabila :
- Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank
- Imbalan yang sehubungan dengan jasa tersebut telah dikenai PPh yang sudah bersifat final berdasarkan peraturan perundang-undangan dalam bidang perpajakan.
Hal yang harus diperhatikan adalah terkait pengenaan PPh Pasal 23 bukan atas nilai Token dan Voucer, namun atas jasa yang diterima oleh Penyelenggara. Sehingga, tidak ada pengenaan objek pajak baru dengan terbitnya kebijakan ini, melainkan untuk memberikan kepastian hukum dan memudahkan bagi wajib pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya.
Created by Aprilia Rahma
Refrensi : https://pajak.go.id/id/artikel/menjawab-polemik-pajak-pulsa-kartu-perdana-token-dan-voucer