Salah satu sumber penerimaan pajak adalah penyetoran dan pemotongan PPh Final atas Jasa Konstruksi. Bisnis jasa konstruksi dapat mendorong penerimaan pajak tersebut apabila dilakukan secara benar. Selain Penyetoran, perlu diperiksa kepatuhan dan kebenaran pelaporan SPT Masa PPh Final atas Jasa Konstruksi.
Pekerjaan jasa konstruksi meliputi jasa konsultasi perencanaan, jasa pelaksana, dan jasa pengawasan konstruksi. Aturan Pajak Penghasilan atas Jasa Konstruksi diatur berdasarkan Pasal 4 ayat 2 UU Pajak Penghasilan dan diatur khusus dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2008. Atas pekerjaan pelaksanaan jasa konstruksi dikenakan tarif PPh Final sebesar 2 persen sampai 4 persen sedangkan perencanaan konstruksi dan pengawasan dikenakan 4 persen sampai 6 persen. Dalam hal wajib pajak yang tidak memiliki Sertifikasi Badan Usaha, maka pengenaan PPh atas jasa konstruksi menggunakan PPh Pasal 23 untuk wajib pajak Badan dan PPh Pasal 21 wajib pajak orang pribadi.
Mekanisme Penyetoran
Untuk memenuhi pembayaran PPh Final pada Usaha Jasa Konstruksi dapat dilakukan melalui (1) pembayaran penyetoran sendiri oleh kontraktor jasa konstruksi dan (2) pemotongan atau pemungutan oleh pengguna jasa (konsumen). Pemenuhan kewajiban pemotongan PPh akan dilakukan melalui pengguna jasa itu sendiri, apabila pengguna jasa konstruksi berstatus sebagai pemotong PPh. Sedangkan jika pengguna jasa bukan pemotong PPh, maka kontraktor harus menyetorkan sendiri PPh jasa konstruksi yang terutang.
Tenggat pembayaran dan pelunasan PPh Final usaha jasa konstruksi maksimal tanggal sepuluh bulan berikutnya berikutnya setelah bulan terutangnya PPh oleh pengguna jasa dan tanggal lima belas bulan berikutnya setelah bulan diterimanya pembayaran oleh pemberi jasa atau kontraktor. Pemotong dan pemungut PPh jasa konstruki wajib melaporkan pemotongan dan pemungutan tersebut maksimal tanggal dua puluh bulan berikutnya setelah bulan terutangnya PPh. Batasan ini juga berlaku untuk pengusaha jasa konstruksi menyetor sendiri PPh jasa konstruksi.
Apabila terdapat selisih kekurangan Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Nilai Kontrak Jasa Konstruksi dengan Pajak Penghasilan berdasarkan pembayaran yang telah disetor atau dipotong sendiri, maka atas selisih kekuranga tersebut disetor sendiri oleh Penyedia Jasa.
Kendala PPh Jasa Konstruksi
Di Indonesia diterapkan tata cara pemotongan dan pemungutan pajak (withholding tax). Sistem ini memudahkan wajib pajak, karena penghasilan wajib pajak terlebih dahulu dipotong atau dipungut pajak. Hanya saja , hal ini menuntut pekerjaan administrasi dari pihak pemotong / pemungut pajak.
UU Pajak Penghasilan Nomor 28/2006 menyatakan bahwa pelunasan PPh terutang dilakukan sendiri oleh wajib pajak atau melalui pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak lain. Dalam hal pelunasan PPh dilakukan melalui pemotongan/pemungutan, maka pihak pemotong /pemungut harus membuat bukti pemotongan/pemungutan. Bukti ini diberikan kepada pihak yang dipotong dan/atau pihak yang dipungut sebagai bukti pelunasan pajak.
Pada kenyataannya, kewajiban pembuatan bukti potong PPh jasa konstruksi dan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 4 ayat 2 seringkali tidak dilakukan oleh pemotong PPh atau dalam hal ini Bendahara. Akibatnya, pemberi jasa konstruksi tidak mendapatkan bukti potong PPh walaupun penghasilan atas jasa konstruksi telah dipotong PPh Final Pasal 4 ayat 2 oleh Bendahara.
Masalah ini berlanjut ke pelaporan SPT Pajak Penghasilan Badan. Pelaporan SPT PPh Badan hanya mewajibkan data bukti potong PPh non Final yang dilaporkan secara detil yang meliputi nama dan NPWP pemotong pajak, nomor bukti pemotongan/pemungutan/ dan nilai Pajak Penghasilan yang dipotong/dipungut.
Pada pengisian SPT PPh Badan tidak diwajibkan adanya lampiran bukti potong PPh Final, termasuk bukti potong PPh Final jasa konstruksi. Pada beberapa kasus , banyak wajib pajak konstruksi yang melaporkan PPh Final atas jasa konstruksi, tetapi tidak ada bukti potong PPh Final jasa konstruksi yang dilaporkan oleh Bendahara
Mengulik Jasa Konstruksi
Untuk meningkatkan pengawasan PPh Jasa Konstruksi ada beberapa solusi yang bisa dilakukan antara lain :
1. Penyetoran PPh Jasa Konstruksi oleh pengguna jasa , wajib menggunakan NPWP penyedia jasa konstruksi. Dengan ini memudahkan pengawasan fiskus, karena pelunasan PPN jasa konstruksi yang diterima oleh Bendahara/Pemungut sudah menggunakan NPWP penyerdia jasa konstruksi.
- Mewajibkan perusahaan jasa konstruksi untuk selalu mencantumkan bukti potong/pungut PPh Jasa Konstruksi pada SPT Tahunan PPh Badan. Selama ini pengisian form lampiran 1771-IV SPT Badan, tidak ada underlying bukti pungut/potong PPh jasa konstruksi. Mungkin Bendahara/Pemungut PPh jasa konstruksi sudah memotong pajak penghasilan, tetapi tidak terdapat bukti potong/pungut.
- Terkait pengembalian pendahuluan restitusi PPN sesuai PMK No.39 tahun 2018, perlu ada penelitian data setoran PPh jasa konstruksi dan bukti potong/pungut jasa konstruksi untuk lebih bayar kurang dari Rp1 miliar. Apabila wajib pajak konstruksi ternyata tidak memiliki bukti pungut/potong jasa konstruksi dari Bendahara/Pemungut, maka restitusi PPN diproses dengan pemeriksaan dan bukan pengembalian pendahuluan. Dengan ini , fiskus bisa memastikan bahwa PPh jasa konstruksi telah diberikan dengan benar. Aturan ini bisa membuat Bendahara/Pemungut untuk mengelola pembayaran dan laporan PPh jasa konstruksi.
Created by Fatah Isma
Referensi : https://www.pajak.go.id/id/artikel/mengulik-pajak-penghasilan-jasa-konstruksi